Pengorbanan Yang Terbayar Lunas

Darah medan mengalir deras di tubuh saya karena almarhum ayah saya berasal dari medan. Tapi hati saya rasanya memang berjodoh dengan PERSIB seperti hati almarhum ayah yang tertambat di ibu saya (Orang Bandung). Kecintaan saya kepada PERSIB dimulai di awal tahun 1992 ketika saya masih berusia 6 tahun. Ayah saya dulu pernah mencoba peruntungannya menjadi Calo tiket di stadion setiap ada pertandingan PERSIB baik kandang maupun tandang alasannya menjadi calo Cuma 1. Hanya Bobotoh yang rela mengeluarkan uang lebih untuk menonton Tim kesayangannya. Saya selalu diajak untuk ikut ke stadion karena ayah saya selalu menyisakan 1 tiket untuk kami masuk menyaksikan PERSIB bermain. Ayah saya sejatinya pendukung PSMS Medan, tapi entah kenapa saya justru lebih suka PERSIB.

Saya beruntung sempat menyaksikan Berjaya nya PERSIB ketika meraih gelar Juara di Perserikatan edisi terakhir. Dan berlanjut meraih Gelar juara di pagelaran Liga Indonesia pertama (Setelah melebur Perserikatan dan Galatama). Tapi seiring berjalannya waktu, satu hal yang selalu saya rindukan adalah PERSIB bisa mengangkat Trophy (lagi).

Dan kesempatan itu datang pada tahun 2014, ketika PERSIB melaju mulus sebagai juara Group di babak 8 besar. Karena kesibukan pekerjaan, saya hanya bisa menyaksikan Pertandingan semifinal melalui layar kaca. Ketika Alberto Goncalves merobek gawang I Made di awal babak kedua nampak kecemasan dalam hati saya bahwa PERSIB kembali gagal merengkuh gelar juara. Harapan mulai muncul ketika Arema melakukan pergantian 3 pemain kunci mereka Gustavo Lopez, Ahmad Bustomi dan Thierry Gathuessi di sisi lain PERSIB semakin gencar melakukan serangan dengan bertambahnya tenaga dari bantuan Vladimir Vujovic yang seolah-olah menjadi Striker tambahan yang meninggalkan pos nya (sebagai Bek). Dan firasat saya terbukti setalah Vujovic dengan cerdik memanfaatkan kemelut di depan gawang Arema. Tak terasa air mata mulai menetes dan keyakinan dalam hati semakin menggebu yakin PERSIB akan berhasil melenggang ke Final. Dan teriakan saya akhirnya memekakan seisi rumah ketika Atep dan Konate berhasil menambah penderitaan Arema di laga itu. PERSIB pun melaju ke Final dengan Skor 3-1.

Sesaat setelah pertandingan saya langsung mencari informasi bagaimana caranya agar saya bisa menonton Final langsung di Palembang. Akhirnya saya mendapat kepastian bahwa saya bias bergabung dengan kawan Viking Kampus tempat dimana saya mengajar (Dosen). Saya harus dengan terpaksa meninggalkan 9 jam kelas yang harus saya ajar dengan 1 alasan. Jika bukan sekarang, Kapan lagi?? Akhirnya kamipun kumpul di Fanshop jalan Banda beserta bobotoh lain yang akan berangkat ke Palembang (Total 8 Bus). Perjalanan yang melelahkan mulai terbayang oleh saya karena menghabiskan waktu 24 jam dari Bandung ke Palembang.

Cobaan pertama terasa ketika Bus yang saya tumpangi terasa lebih lambat dari bus rombongan bobotoh yang lain sehingga kami pun tertinggal jauh di jalan tol. Lalu ketegangan mulai terasa ketika memasuki daerah cikarang, di pinggir kiri jalan tol daerah cikunir kami sudah di tunggu oleh supporter “sebelah” yang siap dengan segala persenjataannya. Kami bersyukur karena tidak mengalami hal yang tidak mengenakan. Rasa syukur kami seketika berubah menjadi ketegangan ketika bus mulai memasuki perbatasan Jakarta – Tanggerang. Lagi lagi kami di serang di saat bus kami terjebak macet oleh si Orange dengan hujaman Batu sebesar betis orang dewasa yang akhirnya meluluh lantahkan Kaca jendela Bus sebelah kanan. Lepas dari terror di tanggerang kami harus merasakan panasnya suhu kota Jakarta karena AC di dalam bus sudah tidak terasa. Sesampainya di Merak Koordinator Bus dengan segala kreatifitasnya memasang kardus yang di selotip untuk menutupi lubang menganga di jendela sebelah kanan itu. Seolah penderitaan sudah berakhir, nyata nya tidak dini hari di perkebunan sawit di kota lampung hujan deras menemani perjalanan kami yang akhirnya meluluh lantahkan kardus kardus yang terpasang rapi. Dan kami semua harus merasakan dinginnya suhu udara di tambah cipratan air hujan yang membuat kami tetap terjaga.
Sesampainya di stadion Jakabaring animo bobotoh yang mulai berdatangan sangat luar biasa, semua terasa bersaudara. Tetapi lagi lagi kejadian tidak mengenakan terjadi pada saat saya memasuki stadion. Entah kenapa pintu masuk yang di buka untuk masuk ke Tribun Timur hanya di buka 1 (Pas untuk 1 orang) berbanding terbalik dengan antrian bobotoh yang mengular sampai ratusan meter ke belakang berjajar 6 baris kesamping. Alhasil di dekat pintu masuk bobotoh berdesak desakan untuk masuk dan saya harus dengan rela kehilangan handphone kesayangan saya Lenovo Vibe-X karena di copet saat berdesakan. Yang saya sayangkan bukan HP nya tapi foto-foto yang saya ambil dr Jalan Banda sampai ke Jakabaring. Lupakan soal HP, akhirnya pertandingan di mulai. Ketegangan Bobotoh memenuhi tribun timur yang sesekali coba di usir dengan nyanyian yel-yel penyemangat untuk MAUNG BANDUNG. Seisi stadion akhirnya terdiam ketika PERSIB harus kebobolan di awal laga.
Permainan PERSIB yang cenderung bertahan seolah tidak belajar dari kesalahan di pertandingan Arema babak 1 terjadi lagi. Namun semangat menggebu muncul ketika Bio Paulin harus menerima kartu merah setelah tackle kerasnya menjatuhkan Ferdinand Sinaga. Tak lama berselang PERSIB berhasil menyemakan kedudukan di akhir babak pertama. Pada saat istirahat babak pertama saya sempat sesumbar pada teman bahwa PERSIB akan menang mudah. Dan asa itu muncul ketika M. Ridwan berhasil membalikan keadaan membawa PERSIB unggul 2-1. Anehnya ketika PERSIB unggul, permainan dan koordinasi tiim justru memburuk. Lini tengah dan lini belakang seolah tidak berkoordinasi di acak acak dengan mudah oleh Boaz, Pahabol dan Robertino.

Petaka muncul akhirnya ketika sontekan Boaz tidak mampu di tahan oleh I Made. Dan tekanan dari Persipura seolah tidak berhenti hingga akhirnya Babak kedua berakhir dengan skor 2-2. Babak ekstra time lawan arema seolah menjadi penyemangat saya berharap De javu mala mini terjadi. Tapi nyatanya justru ketegangan demi ketegangan yang di rasakan oleh bobotoh yang hadir di sana karena organisasi permainan PERSIB tidak kunjung membaik yang di perparah dengan tragedi “tidak penting” yang di lakukan Vlado. Singkat cerita Babak ekstra time selesai dan pertandingan harus di selesaikan dengan Adu Penalti. Tendangan Gagal Suwitha Patha pada saat pertemuan PERSIB dan PERSIJAP di siliwangi di tambah dengan cerita almarhum Ayah saya bahwa PERSIB selalu gagal juara jika adu pinalti (Vs PSMS di final perserikatan) menghantui saya.

Diawali dengan lantunan Al-Fatiha dari tribun Timur PERSIB berkesempatan menjadi penendang pertama.Makan Konate berhasil mengeksekusi dengan dingin dan  Ferdinand sebagai penendang kedua berhasil mengembalikan kepercayaan dirinya setelah gagal menjadi eksekutor penalty untuk timnas. Gol demi gol dari titik 12 pas oleh kedua tim menambah ketegangan suasan di Jakabaring malam itu. Suasana stadion mulai semarak malam itu ketika Tendangan Alom berhasil di tahan oleh I Made. Dan beberapa detik kemudian suasana kembali hening seketika ketika eksekutor terakhir Ahmad Juprianto berjalan dari garis tengah lapangan menuju kotak 12 pas. Saya bias melihat raut gelisah, khawatir dan takut dari beberapa bobotoh yang ada di sekitar saya. Dan banyak bobotoh yang menunduk bahkan menutup wajahnya untuk tidak melihat tendangan terakhir ini. Saya memberanikan diri untuk melihat langsung tercetaknya sejarah untuk kota Bandung tercinta ini.

Dan GGGGOOOOOAAALLLLLLLL teriakan, pekikan, rasa haru, bangga, air mata kebahagiaan bercampur keringat begitu banyak yang saya rasakan malam itu. Akhirnya saya bisa menjadi saksi sejarah(lagi) melihat PERSIB Berjaya di saat saya sudah mulai mengerti arti fanatisme, loyalitas dan totalitas bobotoh untuk PERSIB. Segala kesulitan yang saya alami lenyap seketika seolah menjadi pengorbanan yang tidak sia sia. Semua bobotoh yang hadir seolah sedang berulang tahun dan mendapatkan KADO terindah yang pernah diterima seumur hidup nya. PERSIB JUARA!!!!

Tukang cukur yang merasa “lebih” pintar dari anak kecil

Ketika seorang pengusaha sedang memotong rambutnya pada tukang cukur yang berdomisili tak jauh dari kantornya, mereka melihat ada seorang anak kecil berlari-lari dan melompat-lompat di depan mereka.

Tukang cukur berkata, “Itu Bejo, dia anak paling bodoh di dunia”

“Apa iya?” jawab pengusaha

Lalu tukang cukur memanggil si Bejo, ia lalu merogoh kantongnya dan mengeluarkan lembaran uang Rp. 1000 dan Rp. 500, lalu menyuruh Bejo memilih,

“Bejo, kamu boleh pilih & ambil salah satu uang ini, terserah kamu mau pilih yang mana, ayo nih!”Bejo melihat ke tangan Tukang cukur dimana ada uang Rp. 1000 dan Rp. 500, lalu dengan cepat tangannya bergerak mengambil uang Rp. 500.

Tukang cukur dengan perasaan benar dan menang lalu berbalik kepada sang pengusaha dan berkata,

“Benar kan yang saya katakan tadi, Bejo itu memang anak terbodoh yang pernah saya temui. Sudah tak terhitung berapa kali saya lakukan tes seperti itu tadi dan ia selalu mengambil uang logam yang nilainya paling kecil.”

Setelah sang pengusaha selesai memotong rambutnya, di tengah perjalanan

pulang dia bertemu dengan Bejo. Karena merasa penasaran dengan apa yangdia lihat sebelumnya, dia pun memanggil Bejo lalu bertanya, “Bejo, tadi saya melihat sewaktu tukang cukur menawarkan uang lembaran Rp. 1000 dan Rp.500, saya lihat kok yang kamu ambil uang yang Rp. 500, kenapa tak ambil yang Rp. 1000, nilainya kan lebih besar 2 kali lipat dari yang Rp. 500?”

Bejo pun berkata, “Karena tukang cukur itu selalu penasaran kenapa saya tidak ambil yang seribu. Kalau saya ambil yang Rp. 1000, berarti permainannya akan selesai…Saya tidak akan dapat lagi Rp. 500 setiap hari,

Pesan Moral :

Banyak orang yang merasa lebih pintar dibandingkan orang lain, sehingga mereka sering menganggap remeh orang lain. Ukuran kepintaran seseorang hanya TUHAN yang mengetahuinya. Alangkah bijaksananya kita jika tidak menganggap diri sendiri lebih pintar dari orang lain.